25/10/2023
*Tapi kan yang milih rakyat!
Seriusan, sy bosan sekali mendengar pendukung dinasti politik yg pakai argumen: tapi kan yang milih rakyat.
Apanya yang dipilih rakyat? Demokrasi di Indonesia itu semu! Lebih2 saat pilpres.
Kamu nyadar nggak sih, yang milih MEMANG rakyat, tapi pilihan, siapa yg ngasih? Elit politik yang memberikannya. Mereka sepakat hanya ngasih pilihan versi mereka. Kamu hanya bisa milih yg tersedia. Paham nggak sih?
Kamu perhatikan foto2 ini dengan saksama. Sy tidak mendukung ke-4-4nya. Terserahlah kalian s**a yg mana. Tapi jika elit politik itu memang mau kualitas pilpres itu lebih baik, 4 orang ini kualitasnya apakah lebih jelek dibanding anak presiden? Tapi 4-4 nya tidak ada yg dipilih, dan TIDAK akan ada di kertas suara. Kok bisa? Karena elit politik di atas sana yg memutuskan siapa yg harus dipilih rakyat.
Susah memang jelasin ke orang2 yg sangat fanatik. Mereka tetap tidak paham juga, betapa serius dampak politik dinasti ini. Mereka tetap mengotot: yg milih kan rakyat! Lupa, jika 95% anak muda yg hari ini menjabat adalah anak dari pejabat2 sebelumnya.
Di Indonesia itu, politik dangkal sekali dgn kehormatan, prinsip2. Semua hanya fokus mau menang, berbagi jabatan. Dengan kualitas pemilih yg lihat amplop, sembako, termakan pencitraan, fanatik buta, wah wah, 20 tahun berlalu, apa hasilnya? Berapa sih UMP di Indonesia ini?
Perhatikan foto ini, sy sungguh kasihan lihat situasi politik di negeri ini. Kamu TIDAK diberikan pilihan yg setidaknya lumayan. Kamu cuma diberikan pilihan yg paling aman bagi elit2 di atas sana. Aman bagi dirinya dan keluarganya. Elit2 yg tahu persis, mayoritas pemilih terpesona dgn tampilan luar, amplop, sembako, kalimat2 bombastis, padahal kosong.
Sementara itu, korupsi terus terjadi di mana2, bahkan di sekolah, di desa2. Penegakan hukum kacau balau. Kualitas pendidikan terjun bebas. Ketimpangan semakin tajam. Yg kaya tambah kaya. Semua orang sibuk hanya mengurus diri sendiri dan keluarganya. Apalagi politisi, sibuk mengurus anak2nya jadi pejabat. Demi nusa dan bangsa katanya. Padahal,
Sayang anak! Sayang anak!
*Tere Liye, penulis novel 'Teruslah Bodoh, Jangan Pintar'