RUMAH Bersama URANG Cianjur

RUMAH Bersama URANG Cianjur DISKUSI PUBLIK

09/12/2025
08/12/2025

“Kedaulatan di Tangan Kita” – Drill Version
Lagu Rangkuman Diskusi Publik Pembubaran DPR/DPRD

Yeah…
Cianjur bersuara…
Rakyat bangun dari sunyi…
Dengar baik—
Ini bukan slogan, ini tuntutan!

Di gedung LBH, suara rakyat naik,
Tanggal sembilan belas, api kritik membaik.
Dedi, Irvan, Suhendra buka pintu logika,
Asep, Ridwan, Dian—suara tajam seperti fakta.

Jack, Novandi, Juhal—rentangkan peta luka,
Demokrasi setengah hati bikin rakyat tak berdaya.
DPR cuma simbol? Di baliknya tali parpol,
Dari hulu sampai hilir, semua digenggam, kontrol total.

Kembalikan!
Kedaulatan rakyat—angkat!
Pangkas!
Kuasa parpol yang sesak!
Bukan lima tahun sekali suara kami dipakai,
Kami pengendali—bukan boneka yang dipajang di pangkai!

Kembalikan!
Kedaulatan rakyat—angkat!
Pangkas!
Kuasa parpol yang sesak!
Ini Cianjur bersuara, gaungnya deras mengalir,
Dengar Jakarta—atau kami datang menyindir!

Rekrutmen caleg penuh pintu gelap,
PAW diatur senyap, publik cuma jadi bayang remang,
Aspirasi rakyat tersangkut di ruang rapat,
Legislator pilih aman—asal kursi tetap kuat.

Dinasti, patronase, uang jadi bahasa,
Ini demokrasi apa? Atau pasar bebas kuasa?
UUD bilang kedaulatan ada pada rakyat,
Tapi praktiknya? Terkunci erat di saku para pejabat.

Policy brief turun—
“Koreksi demokrasi setengah hati.”
Recall dari konstituen, buka PAW secara digital,
Transparansi jadi senjata,
Rakyat jadi pusat, bukan formalitas ritual.

Kembalikan!
Kedaulatan rakyat—angkat!
Pangkas!
Kuasa parpol yang sesak!
Reformasi bukan mimpi—ini tuntutan yang kuat,
Kalau tak dibenahi—DPR cuma tinggal nama di plakat!

Petisi ditandatangani—bukan basa-basi,
Caleg berintegritas, bukan sekadar geng prestisi.
Keuangan partai dibuka, oligarki disikat,
Rakyat masuk legislasi—main di meja, bukan di pinggir sekat.

Tanpa ini semua, seruan “Indonesia tanpa DPR” cuma angin,
Rakyat tak mau bubar lembaga—hanya mau nyawa aslinya kembali mengalir.
Advokasi ke Senayan, tekanan publik digas,
Cianjur udah mulai, Jakarta tinggal jawab:
Dengar atau tergusur arus keras?

Demokrasi sehat lahir saat rakyat menggenggam kendali,
Bukan penonton, tapi penggerak yang berdiri berani.
Suara dari Cianjur—
Akan sampai ke ibu kota, kalau kalian siap dengar.
Kedaulatan milik kita. Titik.

04/12/2025

"EVALUASI WAHYU-RAMZI BUKAN AKHIR!"
(Lagu Rangkuman DISKUSI PUBLIK & JUMAT BERKAH "Evaluasi Pemerintahan Wahyu–Ramzi: APBD, Janji Politik, & Nasib Warga By : RBUC)

Yeah…
R-B-U-C, Y-L-B-H-C…
28 November, Cianjur bicara…
Turn it up.

Ini suara forum, bukan panggung pencitraan,
Janji politik naik, tapi rakyat terus kesakitan.
APBD dibahas, tapi siapa yang diuntungkan?
Bomero berdiri — walau kuasa mau menyingkirkan.
Kami evaluasi… semua di atas meja.
Kalau janji kosong, rakyat yang kecewa.
Kami evaluasi… tanpa takut siapa-siapa.
Cianjur bersuara — dengar atau kau tergelincir, ya.

Ichwan masuk, bicara jelas tanpa naskah:
“Pemerintah itu untuk rakyat, bukan buat golongan jenak.”
Potensi besar, wisata, UMKM, mineral,
Tapi IPM rendah — itu fakta yang fatal.

Pasar perlu modern, pedagang perlu platform,
Edukasi digital biar semua bisa transform.
Dialog dibuka, bukan ditutup rapat,
Kalau pemimpin tuli, kota cuma jalan di tempat.
Cianjur kaya, tapi rakyat masih susah,
Janji-janji naik, yang terasa cuma gusar.
Reformasi? Yuk lihat siapa yang benar,
Rakyat cuma mau kebijakan yang pintar.

Ini suara forum, bukan panggung pencitraan,
Janji politik naik, tapi rakyat terus kesakitan.
APBD dibahas, tapi siapa yang diuntungkan?
Bomero berdiri — walau kuasa mau menyingkirkan.
Kami evaluasi… semua di atas meja.
Kalau janji kosong, rakyat yang kecewa.
Kami evaluasi… tanpa takut siapa-siapa.
Cianjur bersuara — dengar atau kau tergelincir, ya.

Asep Toha bicara: “Kebijakan masih abu-abu,
Setengah populis, setengah teknokratis, program ngegantung terus.”
Policy Brief masuk RAPBD tapi eksekusi lambat,
Ekonomi kerakyatan? Bro, itu masih seret.

LBH naik, bawa suara yang dilupakan:
“Pedagang siap diatur, bukan dipaksa dipindahkan.”
Jebrod bukan solusi — cuma memindah masalah,
Yang hidup dari Citywalk harusnya didengar, bukan diusir paksa.

Unang ngomong hukum, tegas tanpa drama:
“Janji politik itu moral, bukan hiasan kampanye semata.”
Bisa jadi interpelasi, evaluasi, sampai gugatan,
Kalau APBD diselewengkan — siap-siap pemeriksaan.

Rakyat lihat, rakyat catat, rakyat simpan,
Apa yang dijanjikan, apa yang dijalankan.
Transparansi bukan slogan — itu kewajiban,
Kalau tak sanggup amanah, jangan duduk di jabatan.

Ini suara forum, bukan panggung pencitraan,
Janji politik naik, tapi rakyat terus kesakitan.
APBD dibahas, tapi siapa yang diuntungkan?
Bomero berdiri — walau kuasa mau menyingkirkan.
Kami evaluasi… semua di atas meja.
Kalau janji kosong, rakyat yang kecewa.
Kami evaluasi… tanpa takut siapa-siapa.
Cianjur bersuara — dengar atau kau tergelincir, ya.

Kritik Publik & Suara Pedagang
Jamaludin angkat nada, kritiknya tajam:
“Forum seberat ini, kok yang hadir bukan level atas?”
Erwin bilang RPJMD dan RAPBD nggak sinkron,
UHC cukup KTP? Faktanya malah ribet, bro.

Supriyanto nambah: “Riil isu tak terurus,”
Bupati keliling desa, tapi Bomero tetap buntu lurus.
Lalu pedagang berdiri, suara paling emosional:
“Kami lawan arogansi, kami cuma mau yang rasional.”

Dialog dulu sebelum turunkan pasukan,
APBD bukan alat pemaksaan.
UMKM itu nadi, jangan disayat pelan-pelan.
R-B-U-C… ruang rakyat… terus berjalan.
Cianjur bersuara — dengar kami sekarang.
Yeah… evaluasi ini bukan akhir, tapi peringatan.

01/12/2025

WAHYU - RAMZI DIKENDALIKAN CIKIDANG?

SOROTAN RBUC
"Janji Politik di Persimpangan, Bomero di Ujung Kesabaran"

Forum diskusi publik yang digelar Rumah Bersama Urang Cianjur (RBUC) pada 28 November lalu menyisakan satu kesan kuat: pemerintahan Wahyu–Ramzi belum menemukan nadinya. Tahun pertama kepemimpinan berjalan dengan langkah tersengal—di antara janji politik yang tak kunjung terpetik, APBD yang bergerak tanpa arah padu, dan pedagang kecil yang terus menjadi korban eksperimen kebijakan.
Pernyataan para peserta forum, dari akademisi hingga pedagang, nyaris senada: pemerintah lebih sibuk merawat citra daripada menata persoalan nyata.
APBD: Dari Janji Kerakyatan ke Administrasi Hambar
Data dan analisis kebijakan yang dipaparkan menunjukkan jarak lebar antara RPJMD yang bombastis dan RAPBD yang kompromistis. Ekonomi kerakyatan yang digembar-gemborkan saat kampanye mengecil menjadi serangkaian program administratif yang dingin dan tak menyentuh akar persoalan.
Bahkan policy brief yang disusun para analis teknokratis—dan diakui sebagian telah masuk RAPBD—masih sebatas formalitas tanpa jaminan eksekusi. Pemerintah tampak ragu menentukan haluan: menjadi populis atau teknokratis—dan akhirnya memilih jalan paling buruk: setengahnya.

Bomero: Bukti Arogansi yang Menjadi Pola
Kasus pedagang Bomero adalah cermin paling jernih dari ketidaksiapan Pemerintah Kabupaten dalam mengelola konflik sosial. Penggunaan ratusan aparat dalam operasi penertiban merupakan pilihan yang mahal, kasar, dan berjarak dari logika pelayanan publik.
Para pedagang mengaku bersedia diatur. Yang mereka tolak adalah dipindahkan paksa ke lokasi yang secara ekonomi tidak masuk akal. Tetapi alih-alih membuka ruang dialog, pemerintah mengirim seragam.
Arogansi kekuasaan bukan lagi dugaan—ia kini nyata dalam bentuk SP3, razia, sidang tipiring, dan pengabaian sistematis terhadap aspirasi rakyat kecil.

Janji Politik yang Menguap
Dalam forum itu, YLBHC mengingatkan bahwa janji politik adalah kontrak sosial. Tidak mengikat secara hukum, tetapi cukup kuat memicu interpelasi DPRD, pemeriksaan BPK, hingga gugatan publik. Ketika janji—seperti UHC cukup pakai KTP—tidak ditepati, yang tergerus bukan hanya kepercayaan, melainkan legitimasi.
Kini, disconnect electoral mulai terlihat di permukaan. Ketika warga berbisik bahwa pemimpin sesungguhnya bukan yang terpilih, tetapi “yang bermarkas di Cikidang”, itu bukan sekadar keluhan emosional. Itu tanda bahaya: publik mulai merasa dipimpin oleh kekuasaan bayangan.

Utusan Pemerintah: Datang, Duduk, Catat, Pulang
Kehadiran utusan Pemkab pada level menengah memperlihatkan rendahnya penghargaan terhadap forum publik. Ketika isu yang dibahas menyangkut APBD, konflik pedagang, dan evaluasi janji politik, pemerintah seharusnya mengerahkan pejabat pengambil keputusan, bukan sekadar penyampai pesan.
Publik tidak butuh notulen. Publik butuh keputusan.

Arah Baru atau Ulang Tahun Kekecewaan?
Diskusi RBUC memberi satu pesan keras: pemerintah harus berhenti mendengarkan dirinya sendiri. Kegaduhan Bomero, kecacatan APBD, dan kelesuan ekonomi bukan masalah yang akan hilang dengan kunjungan desa atau unggahan media sosial. Ini membutuhkan keberanian politik—dan kerendahan hati.
Sampai saat itu tiba, janji Wahyu–Ramzi akan tetap menggantung di udara, sementara pedagang Bomero terus berjuang di bawah bayang-bayang kebijakan yang tak berpihak pada mereka.
Cianjur menunggu pemimpin,
bukan sekadar pejabat yang dikendalikan cikidang!!!.


berat

22/11/2025

SOROTAN RBUC
"Tipiring Bomero 21/11: Antara Narasi Resmi dan Fakta Lapangan"

Satuan Polisi Pamong Praja dan Damkar Kabupaten Cianjur pada Jumat, 21 November 2025, menggelar sidang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) terhadap para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di kawasan Bomero. Dalam rilis resminya, Kepala Satpol PP, Djoko Purnomo, menyebut bahwa sidang ini merupakan tindak lanjut atas “ngeyel”-nya sejumlah pedagang yang tetap berjualan di area terlarang seperti trotoar dan badan jalan.

Namun kronologi lapangan menunjukkan kisah yang jauh berbeda. Antara narasi resmi dan pengalaman pedagang terdapat kesenjangan yang tidak bisa diabaikan.

Narasi Resmi Satpol PP

Menurut keterangan Satpol PP:

Penindakan dilakukan karena pedagang dianggap membandel meski sudah berkali-kali ditertibkan.

Sebanyak delapan PKL terjaring, satu melarikan diri.

Tujuh dibawa untuk proses lanjutan ke Pengadilan Negeri Cianjur.

Satu pedagang pulang mengambil kelengkapan, dan satu dinilai tidak memenuhi syarat administrasi karena tidak membawa KTP.

Patroli disebut sebagai komitmen menjaga “kenyamanan, keindahan, dan kebersihan” Bomero Citywalk.

Narasi ini seolah menunjukkan bahwa operasi berjalan tertib, terukur, dan sepenuhnya sesuai prosedur.

Fakta Lapangan: Penertiban Tanpa Dasar Hukum, Perampasan Barang, dan Intimidasi
1. Operasi Dimulai Pukul 06.30 Tanpa Surat Tugas

Truk Satpol PP masuk dari Jl. Cicih Wiarsih dan langsung menyita barang:
timbangan Aep, keranjang Wiwik, timbangan Aceng.
Di tanah milik Akam, payung dan meja lapak sosis milik Rusli turut dirampas.
Sembilan pasang sandal yang dijaga Ari Yusuf disita, dan Ari diangkut tanpa kesempatan menjelaskan bahwa dirinya hanya pekerja.

Di Jl. Moh. Nooh, keranjang dan timbangan milik Ceceng diambil; ia pun ikut dibawa ke truk.
Di Peniel, barang milik Yusuf disapu bersih.

2. Warga Diangkut Tanpa Penjelasan

Beberapa pedagang dan pekerja dibawa ke truk tanpa pemberitahuan alasan hukum dan tanpa proses administrasi yang transparan.

3. Pedagang Diminta Sidang Tanpa Pendampingan Hukum

Pukul 07.00, melalui pemuda setempat, pedagang diminta ke Pengadilan Negeri dan diminta bersedia menjalani Tipiring tanpa pendamping hukum. Ini bertentangan dengan asas fair trial.

4. LBHC Tiba — Satpol PP Tidak Dapat Menunjukkan Surat Perintah atau Dasar Perbup

Pukul 07.30, LBHC tiba di kantor Satpol PP. Ketika diminta menunjukkan dasar operasi, tak satu pun dokumen ditunjukkan.

Disepakati sidang digelar setelah Jumat.
Namun nyatanya sidang dimajukan sepihak sebelum Jumat.

5. Sidang Tanpa Kuasa Hukum, Ruang Dipenuhi Satpol PP

Aep dipanggil pertama. Pendamping hukum ditolak masuk oleh kejaksaan dengan alasan “Tipiring tidak butuh pendampingan”.

Ruangan sidang penuh anggota Satpol PP, menciptakan tekanan psikologis.
Aep tidak diberi ruang bicara, dan dijatuhi denda Rp100.000, padahal ia sudah merugi hampir Rp500.000.

6. LBHC Memaksa Masuk, Ancaman Tahanan 3 Hari

Pukul 13.30, LBHC (Pak Oden) berhasil masuk.
Ceceng hampir dipenjara 3 hari sebelum akhirnya dinegosiasi menjadi denda Rp50.000.

Pedagang lain—Wiwik, Ari, Rusli, Aep, Aceng, Yusuf—masing-masing dituntut Rp50.000.
Total denda: Rp350.000.
Beberapa bahkan tidak punya uang dan salah satunya hanya membawa Rp1.000.
Denda akhirnya dibayarkan kuasa hukum YLBHC, Deden Muharam Junaidi.

7. Barang Rampasan Baru Dikembalikan Besoknya

Meski disebut “penertiban”, barang dagangan diperlakukan layaknya sitaan proses pidana.

Dua Narasi, Satu Pertanyaan: Ada di Mana Keadilan?

Narasi Satpol PP menempatkan pedagang sebagai pihak membandel.
Narasi pedagang menunjukkan tindakan aparat yang tidak sesuai prosedur:

tanpa surat perintah,

tanpa dasar Perbup,

membawa orang tanpa alasan hukum jelas,

sidang dipercepat,

pendamping hukum diadang,

ruang sidang dijejali aparat.

Di tengah dua narasi yang bertentangan ini, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah Kabupaten Cianjur:

Apakah penegakan aturan memang harus mengorbankan hak warga kecil?

Karena sebesar apa pun keinginan menata kota, hukum tidak boleh berubah menjadi alat menakut-nakuti, apalagi merugikan ekonomi rakyat kecil.



21/11/2025

BUPATI KEMBALI BUNGKAM HADAPI DEMO RAKYAT

SOROTAN RBUC:
"Ketika Kekuasaan Menutup Pintu, Dua Gelombang Tuntutan Rakyat Bertemu dalam Kekecewaan yang Sama"

Aksi Gerakan Pemuda Ansor di depan Pemkab Cianjur, Kamis (20/11), bukan fenomena tunggal. Ia adalah bagian dari pola yang lebih besar—gelombang ketidakpercayaan publik yang terus membesar seiring membesarnya jarak antara rakyat dan pemimpinnya.
Janji politik yang tak direalisasikan, program anggaran yang menghilang dari APBD, dan sikap pemimpin yang menghindari dialog, menunjukkan bahwa pemerintah daerah semakin kehilangan kepekaan terhadap denyut kebutuhan warga.
Apa yang terjadi pada Ansor hari ini sejatinya adalah cerminan dari apa yang dialami para pedagang Bojongmeron sebelumnya. Ratusan pedagang, bersama jaringan masyarakat sipil—Sahabat Bomero, YLBHC, GMNI, dan PMII—datang ke Pendopo bukan untuk membuat gaduh, tetapi menuntut hak paling mendasar: didengar. Namun mereka pulang tanpa kepastian. Bupati Cianjur memilih bungkam. Ketika pintu Pendopo ditutup, yang tertutup bukan hanya akses fisik, tetapi juga ruang demokrasi yang seharusnya melayani warganya.
Kini, pola yang sama terulang kepada Ansor.
Janji Rp25 juta per RT per tahun, insentif guru ngaji dan imam masjid, serta dana Rp300 juta untuk pesantren—program-program yang pernah dijual sebagai keunggulan kampanye—tidak muncul dalam politik anggaran.
Dan saat rakyat mempertanyakan hal itu, mereka mendapati pemerintah daerah tidak hadir, tidak menerima, bahkan tidak bersuara.
Ketua LBH GP Ansor, Aa Fawaid Abdul Qudus, dengan tegas menyebut bahwa pemerintahan Wahyu–Ramzi lebih mengedepankan citra daripada kinerja, lebih memilih retorika daripada pemenuhan kewajiban. Prinsip keberpihakan yang seharusnya menjadi landasan APBD justru ditinggalkan. RT, RW, guru ngaji, imam masjid, dan pesantren diperlakukan sebatas komoditas politik—dipanggil ketika jelang Pilkada, ditinggalkan setelah suara mereka tidak lagi diperlukan.
Korlap aksi, KH Enjang Durhman, menegaskan bahwa Pemkab Cianjur telah menutup akses partisipasi publik. Tidak memasukkan program tersebut ke dalam APBD bukan hanya kekeliruan administratif, tetapi keputusan politik yang mengabaikan nilai-nilai egaliter dan hikmah kebijaksanaan sebagaimana amanat Sila Keempat Pancasila.
Dan yang paling memprihatinkan: dua kelompok warga yang berbeda, di dua momen berbeda, mengalami pola yang sama.
Pedagang Bojongmeron tidak ditemui.
Gerakan Pemuda Ansor tidak ditemui.
Keduanya pulang dengan kekecewaan yang sama.
Inilah tanda kemunduran partisipasi publik yang nyata.
Inilah wajah otoritarianisme yang tumbuh diam-diam: pemerintahan yang menutup pintu, menutup telinga, dan menutup ruang dialog.
Tetapi ada hal lain yang juga tumbuh di Cianjur: ingatan kolektif rakyat.
Semakin banyak warga yang menyadari bahwa janji politik bukan sekadar janji. Ia adalah kontrak moral dan politik yang wajib ditepati. Ketika pemerintah mengingkarinya, rakyat berhak menagih—dan akan terus menagih.
Cianjur sedang bergerak.
Dan gelombang itu tidak akan padam hanya karena pintu Pemkab ditutup rapat.
Jika pemimpin tetap memilih bungkam, maka rakyatlah yang akan berbicara lebih keras.

11/11/2025

SIARAN PERS
" Pemkab Cianjur Langgar Kesepakatan dengan DPRD, Pedagang Bojongmeron Jadi Korban Represi Saat Eksekusi SP3 "

Cianjur, 11 November 2025 —
Kesepakatan resmi yang dibuat DPRD Kabupaten Cianjur bersama perwakilan pedagang Pasar Bojongmeron pada Senin (10/11) sore ternyata diabaikan oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur. Hari ini, petugas Satpol PP tetap melakukan eksekusi SP3 secara represif terhadap pedagang, bahkan beberapa di antaranya mengalami tindak pemukulan.

Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tak hanya mengingkari komitmen politik bersama legislatif, tetapi juga diduga telah melakukan tindakan di luar koridor hukum serta melanggar asas-asas pemerintahan yang baik (AUPB).

Eksekusi Dilakukan Pasca Kesepakatan Penundaan

Dalam berita acara kesepakatan yang ditandatangani di Gedung DPRD Kabupaten Cianjur, legislatif menetapkan tiga poin penting:

Tidak boleh ada eksekusi/penggusuran sebelum adanya hasil musyawarah dan evaluasi menyeluruh yang dilakukan secara terbuka.

Bila Pemkab memaksakan eksekusi, DPRD wajib memanggil eksekutif dan meminta pertanggungjawaban.

DPRD menjamin perlindungan dan rasa aman bagi seluruh pedagang hingga tercapai kesepakatan final.

Namun kurang dari 24 jam setelah kesepakatan tersebut ditandatangani, Pemkab melalui Satpol PP dan Damkar tetap melakukan eksekusi SP3 di kawasan Bojongmeron.

“Ini jelas pelanggaran terhadap kesepakatan resmi bersama DPRD. Eksekusi dilakukan tergesa-gesa tanpa dialog lanjutan dan disertai kekerasan terhadap pedagang,”
ujar Deden M. Junaedi, SH., M.HR dari YLBH Cianjur.

Tindakan Represif: Pedagang Dipukul

Sejumlah pedagang dan mahasiswa mengaku mengalami tindak kekerasan fisik saat eksekusi berlangsung.
Selain melanggar etika pelayanan publik, tindakan ini patut diduga memenuhi unsur pidana, antara lain:

Pasal 351 KUHP (Penganiayaan)

Pasal 406 KUHP (Perusakan barang milik orang lain)

Pasal 170 KUHP (Kekerasan di muka umum)

Selain itu, tindakan ini berpotensi digugat sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, serta pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam UU 39/1999.

DPRD Harus Jalankan Fungsi Pengawasan

Peristiwa hari ini menjadi ujian bagi DPRD Kabupaten Cianjur.
Komitmen yang mereka tandatangani tidak boleh berhenti sebagai simbol, tetapi harus diwujudkan melalui:

✅ Pemanggilan pihak eksekutif
✅ Evaluasi terbuka
✅ Langkah perlindungan bagi pedagang
✅ Penghentian eksekusi sampai tercapai kesepakatan

“Kami menuntut DPRD menjalankan fungsi pengawasan penuh dan memastikan Pemkab menghormati kesepakatan. Jika tidak, DPRD kehilangan marwahnya sebagai wakil rakyat,”
tegas Agustrama Tunggaraga dari GMNI Cianjur.

Legalitas Relokasi Masih Bermasalah

Selain pelanggaran prosedural, kebijakan relokasi pedagang Bomero juga masih menyisakan berbagai persoalan mendasar:

❌ Tidak ada musyawarah terbuka
❌ Tidak ada dasar legal izin pemungutan retribusi sebelumnya
❌ Tidak ada mekanisme kompensasi yang jelas
❌ Pendataan pedagang tidak transparan
❌ Relokasi dilakukan secara sepihak

Padahal, banyak pedagang sudah berjualan di lokasi tersebut selama lebih dari 20 tahun dan rutin dipungut retribusi oleh pemerintah.

“Bagaimana mungkin tiba-tiba pedagang dinyatakan ilegal, sementara selama puluhan tahun justru mereka dipungut retribusi oleh pemerintah?”
ujar Yusuf, perwakilan Sahabat Bomero.

Ini membuktikan bahwa relokasi bukan semata-mata persoalan zonasi, tetapi menyangkut tanggung jawab negara atas tindakan dan kelalaiannya selama ini.

Desakan

Koalisi pedagang, organisasi mahasiswa, dan lembaga bantuan hukum mendesak:

Hentikan segera eksekusi dan tindakan represif di Bojongmeron

Evaluasi terbuka dengan kehadiran DPRD, Pemkab, dan perwakilan pedagang

Usut dugaan kekerasan aparat dan berikan perlindungan bagi korban

Pastikan seluruh proses kebijakan memenuhi prinsip keterbukaan, keadilan, dan keberpihakan pada warga kecil

Penutup

Relokasi bukan berarti menata dengan kekerasan.
Membangun Cianjur bukan berarti mengorbankan rakyat kecil.
Keputusan politik yang tidak menghormati kesepakatan bersama hanya akan menghasilkan ketidakpercayaan dan konflik sosial yang berkepanjangan.

Kami menyerukan proses yang lebih bermartabat: terbuka, manusiawi, adil bagi seluruh warga.

Kontak Media:
📞 089560477976
📧 [email protected]

Organisasi/Koalisi:

Sahabat Bomero

GMNI Cianjur

PMII

HMI

YLBH Cianjur

RBUC







08/11/2025

SOROTAN RBUC
"Membuka Dialog, Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Bojongmeron"

Gelombang protes pedagang Pasar Bojongmeron pada Jumat, 7 November 2025, bukan sekadar ekspresi kemarahan, melainkan alarm keras tentang rusaknya komunikasi kebijakan publik di Kabupaten Cianjur. Ratusan pedagang, bersama jaringan masyarakat sipil—Sahabat Bomero, YLBHC, GMNI, dan PMII—datang ke Pendopo, bukan untuk membuat gaduh, melainkan menuntut hak paling mendasar: didengar.
Sayangnya, mereka pulang tanpa jawaban. Bupati Cianjur memilih bungkam.

Rumah Bersama Urang Cianjur (RBUC) menilai, kebisuan ini menandakan krisis kepemimpinan dalam menangani kebijakan yang menyentuh urat nadi kehidupan ekonomi rakyat kecil. Relokasi pedagang ke Pasar Induk Cianjur dinilai berlangsung sepihak, tanpa kajian akademik independen, dan tanpa analisis dampak sosial yang memadai. Lebih parah, rekomendasi resmi DPRD melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) justru diabaikan.
Ini bukan sekadar kekeliruan prosedur. Ini adalah tanda bahwa ruang partisipasi publik semakin menyempit.

Prinsip Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) seharusnya menjadi pondasi setiap kebijakan. Namun yang terlihat justru sebaliknya: transparansi kabur, akuntabilitas melemah, partisipasi publik tergilas, sementara pedagang yang menjadi pihak paling terdampak justru dianggap beban, bukan subjek yang perlu diundang duduk bersama.
RBUC menegaskan bahwa kebijakan publik yang menyangkut penghidupan ribuan keluarga tidak dapat dibangun di atas pendekatan administratif semata. Ia harus diuji dari sisi kemanusiaan, keadilan, dan konstitusionalitas. Tanpa itu, kebijakan relokasi bukan sekadar cacat prosedural, tetapi juga berpotensi melanggar jaminan hak asasi warga yang terlindungi dalam UUD 1945 Pasal 28D dan 28H, serta berbagai regulasi seperti:
UU Pelayanan Publik
UU Pemerintahan Daerah
UU Ombudsman
Perpres 112/2007

Di tengah ketegangan ini, RBUC menawarkan jalan tengah: membuka ruang dialog kebijakan (Policy Dialogue Forum). Forum ini harus melibatkan akademisi, lembaga bantuan hukum, organisasi pedagang, serta pemangku kepentingan lain secara setara. Di dalam forum itulah kebijakan diuji secara objektif—bukan melalui ruang tertutup kekuasaan, melainkan melalui gotong royong pikiran.

Kebijakan yang baik bukan ditentukan oleh siapa yang paling kuat, tetapi oleh siapa yang paling mampu mendengar.
RBUC meyakini bahwa pemerintah daerah sesungguhnya memiliki kesempatan memperbaiki keadaan. Namun kesempatan itu hanya mungkin jika Pemkab memilih merangkul, bukan mengintimidasi; mendengar, bukan membungkam.

Apabila pemerintah tetap bersikeras menjalankan kebijakan sepihak, maka langkah hukum menjadi keniscayaan. Pelaporan ke Ombudsman, Komnas HAM, gugatan ke PTUN maupun pengadilan negeri menjadi jalan yang terbuka dan sah dalam negara demokrasi. Namun kami percaya, ruang dialog yang terbuka akan jauh lebih beradab dibanding tarik-menarik argumentasi di ruang litigasi.

Rakyat adalah pemilik kedaulatan. Pedagang bukan beban, melainkan denyut ekonomi daerah.
Melemahkan mereka sama saja mematikan nadi pembangunan.
Kini, pilihan ada di tangan Pemkab Cianjur:

Melanjutkan kebisuan yang melahirkan krisis kepercayaan, atau membuka pintu dialog untuk mengembalikan keadilan kebijakan.

RBUC memilih berada pada pihak yang memperjuangkan suara rakyat—sebab tanpa rakyat, tidak ada Cianjur yang layak disebut rumah.





07/11/2025
06/11/2025

SOROTAN RBUC

" Menimbang Sikap Pemerintah Pasca Nota Komisi II & Terbitnya SP3 untuk Pedagang Bomero "

Perkembangan terbaru terkait rencana relokasi pedagang Bomero menimbulkan pertanyaan serius mengenai arah kebijakan pemerintah daerah. Setelah Komisi II DPRD Kabupaten Cianjur menerbitkan Nota Dinas pada 4 November 2025 yang meminta pemerintah mempertimbangkan ulang rencana relokasi, Pemerintah Kabupaten Cianjur ternyata mengambil langkah berbeda. Terbitnya Surat Peringatan Ketiga (SP3) dari Satuan Polisi Pamong Praja kepada pedagang menandai pendekatan penegakan administratif yang jauh dari rekomendasi komunikasi dialogis.

Secara prosedural, Satpol PP memang memiliki kewenangan menerbitkan SP sebagai bagian penegakan peraturan daerah. Namun, keluarnya SP3 di tengah usulan resmi Komisi II agar kebijakan relokasi dikaji ulang menimbulkan kesan ketidaksinkronan antar-institusi pemerintahan daerah. Kondisi ini berpotensi memunculkan ketidakpastian bagi pedagang yang masih menunggu arah kebijakan final.

Bagi publik, ini bukan semata persoalan teknis penataan ruang usaha. Lebih dari itu, persoalan ini menyangkut kejelasan proses pengambilan keputusan, konsistensi antar lembaga pemerintah, dan jaminan bahwa kebijakan yang diambil mempertimbangkan hak-hak sosial ekonomi kelompok terdampak.

Relokasi—sebagai kebijakan publik—idealnya tidak hanya didasarkan pada peraturan tertulis, tetapi juga melalui pertimbangan rasional: kelayakan lokasi baru, kesiapan sarana pendukung, analisis dampak sosial-ekonomi, serta keterlibatan pihak terdampak dalam dialog yang bermakna.

Nota Komisi II, meskipun bersifat tidak mengikat, seharusnya menjadi rujukan bahwa terdapat aspirasi dan masukan objektif yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Ketidakhadiran tindak lanjut berupa dialog lanjutan membuat komunikasi kebijakan tampak berjalan satu arah.

RBUC memandang bahwa situasi saat ini memerlukan pendekatan yang lebih hati-hati dan inklusif. SP3 seharusnya tidak mengakhiri ruang dialog, melainkan menjadi pintu masuk untuk mengkaji ulang proses relokasi secara komprehensif. Keberadaan pedagang di Bomero bukan hanya soal tempat berdagang, tetapi berkaitan dengan keberlanjutan usaha dan penghidupan keluarga mereka.

Agar keputusan yang diambil berkeadilan dan dapat diterima secara sosial, pemerintah perlu:

Menghadirkan dialog terbuka antara pedagang, pemerintah, dan pemangku kepentingan lain;

Menjelaskan dasar pertimbangan relokasi secara transparan, termasuk kajian kelayakan Pasar Induk;

Memastikan perlindungan sosial-ekonomi bagi pedagang terdampak;

Mensinkronkan sikap antar lembaga daerah, terutama pemerintah dan DPRD.

Situasi ini bukan semata ujian bagi pedagang, tetapi juga bagi pemerintah daerah dalam memastikan bahwa kebijakan yang diambil bersandar pada asas transparansi, partisipasi, dan keadilan.

RBUC tetap mendorong agar setiap langkah yang diambil menuju penyelesaian persoalan ini dilakukan melalui pendekatan yang humanis, dialogis, dan menghormati hak warga untuk mendapat kepastian atas ruang hidup dan penghidupannya.

Rumah Bersama Urang Cianjur (RBUC)
Mendorong ruang dialog yang setara, demi kebijakan yang lebih inklusif.....


berat

29/10/2025

Demokrasi yang Dipasung, Hukum yang Membisu di Cianjur
(Oleh: Rumah Bersama Urang Cianjur & YLBH Cianjur)

Ketika suara rakyat diseret ke balik jeruji besi, maka sesungguhnya yang ditahan bukan hanya seorang aktivis, melainkan juga akal sehat dan nurani keadilan.
Penahanan seorang aktivis muda bernama Rafli oleh Polres Cianjur bukan sekadar persoalan hukum, melainkan potret buram dari wajah demokrasi lokal yang kehilangan arah.
Aksi yang digelar pada 29 Agustus 2025 lalu — melibatkan mahasiswa, buruh, dan pengemudi ojek online — sejatinya adalah bentuk partisipasi warga dalam ruang demokrasi. Mereka menyuarakan kegelisahan terhadap ketimpangan sosial dan tata kelola pemerintahan yang kian menjauh dari rakyat. Namun, alih-alih dijadikan ruang dialog, aspirasi itu dibalas dengan penangkapan dan penahanan.

Ketika Kritik Dianggap Ancaman
Peristiwa ini memperlihatkan kecenderungan lama yang tak kunjung usai: kritik dianggap ancaman, bukan masukan. Padahal, konstitusi menjamin hak menyampaikan pendapat di muka umum sebagai hak asasi yang tidak boleh dibatasi secara sewenang-wenang.

Pasal 28 UUD 1945, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, dan berbagai instrumen HAM nasional maupun internasional menegaskan posisi rakyat sebagai subjek dalam negara hukum.
Namun, praktiknya di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Aparat penegak hukum kerap berdiri di sisi kekuasaan, bukan di sisi keadilan. Dalam kasus Rafli, bahkan setelah adanya islah antara pihak yang merasa dirugikan dan para aktivis, Polres Cianjur tetap menahan sang mahasiswa dengan alasan kerusakan gerbang DPRD. Sebuah alasan yang, bagi publik, terdengar terlalu kecil untuk membenarkan sebuah penahanan.

Anak Muda yang Diseret oleh Kekuasaan
Kita tidak sedang bicara tentang kriminal, tetapi tentang anak muda yang memperjuangkan nurani sosial. Seorang mahasiswa yang turun ke jalan dengan kesadaran bahwa diam di tengah ketimpangan adalah bentuk pengkhianatan.
Jika semangat seperti ini dibungkam, apa yang akan tersisa dari pendidikan, dari moralitas sosial, dan dari demokrasi itu sendiri?
Kepolisian sebagai institusi negara semestinya menjunjung tinggi profesionalisme, proporsionalitas, dan kemanusiaan dalam menjalankan tugas. Penegakan hukum bukan sekadar prosedur, tetapi juga cermin keadilan.
Menahan aktivis karena mengkritik kebijakan publik sama saja dengan mengkriminalisasi nurani.

Keadilan yang Tak Boleh Bungkam
Kami percaya, hukum yang adil tidak akan lahir dari tindakan represif.
Cianjur bukanlah wilayah tanpa hukum, tapi jangan biarkan menjadi wilayah tanpa keadilan. Karena setiap tindakan aparat yang melanggar batas bukan hanya melukai individu, tetapi merusak kepercayaan publik terhadap negara.
Sudah saatnya Polres Cianjur membuka mata, menegakkan hukum dengan nurani, dan menghentikan praktik-praktik yang berpotensi melanggar hak asasi manusia. Penahanan Rafli harus dievaluasi secara menyeluruh — bukan hanya demi dirinya, tapi demi masa depan demokrasi lokal yang lebih sehat.

Kembalikan Polisi pada Jati Dirinya
Polisi adalah pelindung rakyat, bukan alat kekuasaan.
Ketika rakyat menyuarakan pendapatnya dengan damai, maka polisi semestinya hadir sebagai pengaman, bukan penangkap.
Jika aparat gagal memahami makna dasar itu, maka yang sedang dibangun bukanlah keamanan, melainkan ketakutan.
Cianjur membutuhkan kepolisian yang humanis, adil, dan terbuka terhadap kritik. Masyarakat sipil tidak anti terhadap hukum — justru sebaliknya, mereka berjuang agar hukum ditegakkan dengan benar.

Kami menyerukan:
Bebaskan Rafli. Hentikan kriminalisasi terhadap aktivis.
Bangun kembali kepercayaan publik dengan profesionalisme dan keadilan yang sejati.
Sebab demokrasi hanya bisa tumbuh di tanah yang subur oleh kebebasan dan kejujuran — bukan di bawah bayang-bayang intimidasi dan pembungkaman.

Address

Cianjur
43215

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when RUMAH Bersama URANG Cianjur posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to RUMAH Bersama URANG Cianjur:

Share

live diskusi

Live Diskusi Dengan Nara Sumber Yang Kompeten