RUMAH Bersama URANG Cianjur

RUMAH Bersama URANG Cianjur DISKUSI PUBLIK

14/12/2025

LAGU YANG TERINSPIRASI GERAKAN RAKYAT, PENOLAKAN GEOTHERMAL, BOMERO DAN ANSOR. Semoga Menghibur

“CIANJUR TIDAK DIAM”
by : RBUC

Di kaki Gede Pangrango, angin pagi membawa kabar,
Tentang hutan yang mulai gelisah, dan tanah yang kian bergetar.
Ada proyek turun dari langit, katanya untuk masa depan,
Tapi mata air menangis pelan, “apa aku masih tersisa nanti, kawan?”

Rabu kelabu di Cianjur, rakyat berdiri memanggil,
Pemkab tak datang menemui—hanya senyap yang tertinggal di angin.
Orang-orang tua duduk di aspal, anak muda angkat papan,
Mereka tak minta banyak: sekadar diajak bicara, sekadar didengar.

Cianjur tidak diam, kami masih di sini,
Menjaga hutan, menjaga janji, menjaga hidup yang berdiri.
Energi boleh bersih, tapi jangan sakiti bumi,
Pembangunan untuk siapa, kalau rakyat sendiri kau tinggalkan pergi?

Di Bojongmeron pedagang menangis, lapak mereka digusur senyap,
Kesepakatan dilanggar pihak yang berkuasa, suara mereka dipandang kabur.
Di pendopo bupati bungkam, rakyat mengetuk tapi pintu terkunci,
Katanya “untuk kemajuan”, tapi siapa yang harus pergi? Siapa yang di sini?

Ansor berdiri menagih janji, guru ngaji bertanya hati-hati,
Dua puluh lima juta tiap RT, insentif umat, janji yang dulu diucapkan pasti.
Tapi kini menguap di udara, seperti debu di jalan pasar,
Rakyat hanya ingin kejelasan—bukan kemewahan, hanya sekadar benar.

Cianjur tidak diam, kami masih bernyanyi,
Tentang hutan yang menua, tentang janji yang belum ditepati.
Jika pemimpin tak hadir, biar rakyat yang kembali,
Bersuara untuk bumi, untuk anak yang lahir nanti.

Hutan bukan proyek, gunung bukan angka,
Ruang hidup bukan tanah kosong tanpa cerita.
Di setiap akar ada doa, di setiap ladang ada kisah,
Dan di setiap warga ada keberanian yang tak mudah patah.

Cianjur tidak diam, kami tetap saling menggenggam,
Meski pemerintah menghilang, harapan tak pernah padam.
Energi harus adil, bukan sekadar terang,
Karena bumi bukan benda—ia rumah yang harus disayang.

Dan jika suatu hari kalian datang kembali,
Temui kami di hutan, di pasar, di jalan sunyi.
Kami rakyat kecil, tapi suara kami panjang,
Selama bumi berkata “tolong”, kami akan terus bernyanyi…

13/12/2025

Kebakaran Kios di Bojongmeron, Akses Bomero Citywalk Dikeluhkan Warga

CIANJUR — Kebakaran terjadi di salah satu kios kawasan Bojongmeron, Kabupaten Cianjur, pada Sabtu (13/12/2025) sekitar pukul 20.15 WIB. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.
Pemilik kios, Abah Anom, mengatakan saat kejadian kios dalam keadaan tutup dan tidak ada aktivitas di lokasi.
“Kios sudah tutup sejak jam dua siang setelah belanja. Tidak ada tanda-tanda korsleting, lampu juga masih menyala seperti biasa,” ujarnya.

Api pertama kali diketahui warga sekitar yang kemudian bergotong royong memadamkan kobaran api. Warga sempat berniat menghubungi petugas pemadam kebakaran, namun terkendala akses masuk ke area Bomero Citywalk.

Menurut warga, jalan masuk ke lokasi terhalang pembatas beton yang dipasang Satpol PP sejak eksekusi Pasar Bomero sekitar sebulan lalu.
“Kalaupun mau masuk, susah. Harus mindahin pembatas beton dulu,” kata salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang terkait penyebab kebakaran maupun evaluasi akses darurat di kawasan tersebut.

11/12/2025

BUPATI KEMBALI BISU, HADAPI DEMO RAKYAT!

SOROTAN RBUC
ENERGI BERSIH, PEMERINTAH BISU
"Ketika Geothermal, Janji Politik, dan Konflik Ruang Hidup Warga Bertemu di Cianjur"

Transisi energi semestinya menjadi jalan keluar bagi krisis iklim. Namun di Indonesia, khususnya Cianjur, transisi itu justru menyisakan jejak lain: rekayasa regulasi, pembiaran konflik sosial, pembungkaman aspirasi warga, dan hutan lindung yang terancam dihancurkan demi proyek berkedok hijau.

Rekayasa Regulasi: Pintu Masuk Ekstraktivisme di Hutan Lindung
UU No. 21 Tahun 2014 mengeluarkan panas bumi dari kategori pertambangan—padahal aktivitasnya identik dengan operasi tambang: pengeboran ribuan meter, risiko kontaminasi air, gas H₂S, gempa mikro, hingga deplesi reservoir panas.
Dengan perubahan definisi ini, izin geothermal di hutan lindung tak lagi membutuhkan persetujuan Presiden. Hutan dibuka tanpa mengubah statusnya. Hukum dibentuk bukan untuk melindungi alam, tetapi memuluskan ekstraksi.

Cianjur: Ketika Warga Menolak, Pemerintah Menghilang
Rabu, 10 Desember 2025, ribuan warga Cianjur turun ke jalan menolak rencana pembangunan di kawasan kaki Gunung Gede Pangrango, wilayah penyangga ekosistem yang sangat vital.
Namun apa respons Pemkab?
Mereka tidak hadir. Tidak ada dialog. Tidak ada penjelasan. Tidak ada keberanian politik untuk bertemu rakyatnya sendiri.
Ketidakhadiran tanpa alasan itu menyulut emosi warga. Ketegangan pecah. Aksi ricuh.
Dan hingga berita diturunkan: Pemkab tetap bisu.
Sikap bungkam ini bukan kejadian tunggal. Ia telah menjadi pola.
Pola Pembungkaman: Bomero, Ansor, dan Janji yang Tak Pernah Dibayar
Demo pedagang Bojongmeron/Bomero: Bupati memilih diam ketika ratusan pedagang menggeruduk Pendopo menolak eksekusi sepihak dan pelanggaran kesepakatan dengan DPRD.
Demo GP Ansor: pemerintah juga menghindar saat massa menagih janji politik 25 juta/RW–RT, insentif guru ngaji, serta bantuan pesantren dan lembaga sebesar 300 juta.
Ketika rakyat menuntut hak dasar, pemerintah menghilang.
Ketika rakyat mempertanyakan janji politik, pemerintah membisu.
Ketika rakyat mempertahankan ruang hidup, pemerintah menjauh.
Cianjur menghadapi bukan hanya krisis lingkungan—tetapi krisis kepemimpinan.
Kawasan Gunung Gede Pangrango: Ekosistem yang Diserahkan kepada Logika Proyek
Kawasan kaki Gunung Gede Pangrango bukan “tanah kosong”—ia adalah:
sumber mata air utama ribuan warga,
habitat kunci untuk flora-fauna,
penyangga geologi yang mencegah bencana,
ruang budaya dan spiritual masyarakat lokal.
Setiap pembangunan yang menembus kawasan ini—baik geothermal, resort, maupun infrastruktur ekstraktif—adalah ancaman langsung terhadap ekologi dan keselamatan warga Cianjur.
Namun aspirasi warga diabaikan, sementara proyek-proyek terus berjalan.
Keadilan Energi: Tidak Cukup Bersih, Harus Berkeadilan
Energi panas bumi bisa menjadi solusi, tetapi cara mewujudkannya menentukan apakah ia benar-benar “hijau” atau hanya “ekstraksi bergaya baru”.
Keadilan energi menuntut:
hutan lindung diperlakukan sebagai zona perlindungan, bukan objek eksploitasi,
masyarakat lokal menjadi penentu, bukan korban,
konsultasi publik bukan formalitas, tetapi keputusan bersama,
pemerintah hadir, bukan menghilang saat rakyat menuntut keadilan.
Transisi energi bukan sekadar mengganti sumber daya.
Transisi energi adalah soal siapa yang diuntungkan, siapa yang dikorbankan, dan siapa yang dilibatkan.
Cianjur Harus Berani Bertanya: Energi Bersih untuk Siapa?
Ketika geothermal membuka hutan, ketika proyek pembangunan mengancam kaki Gunung Gede, ketika pedagang diusir, ketika janji politik digantung, dan ketika pemerintah memilih diam—maka transisi energi tidak lagi berbicara soal keberlanjutan.
Ia berbicara soal kekuasaan.
Saatnya Cianjur menegaskan:
Energi yang kita butuhkan bukan hanya berkelanjutan. Energi itu harus berkeadilan.

09/12/2025

DISKUSI PUBLIK

Evaluasi Setahun Pemerintahan Prabowo–Gibran:
Konsolidasi Demokrasi atau Konsolidasi Kekuasaan?

Satu tahun pemerintahan berjalan—apakah rakyat makin berdaulat, atau kekuasaan makin terpusat?

Mari hadir dan ikut mengkritisi arah bangsa!

🗓 Kamis, 09 Desember 2025
⏰ 20.00 – Selesai WIB
📍 (Gedung Juang 45)
🎙 Narasumber: Ray Rangkuti (Pengamat politik,Tokoh nasional pro-demokrasi, Usman Hamid (Direktur Amnesty Internasional), Feri Wibisana (Aktivis Pro Demokrasi)

Acara terbuka untuk umum.
Ajak temanmu. Ajak komunitasmu.
Karena demokrasi hanya hidup jika rakyat bersuara.

📞 Info lebih lanjut: Biqi Ahmad Fadilah, Lazuardy Wiwaha

08/12/2025

“Kedaulatan di Tangan Kita” – Drill Version
Lagu Rangkuman Diskusi Publik Pembubaran DPR/DPRD

Yeah…
Cianjur bersuara…
Rakyat bangun dari sunyi…
Dengar baik—
Ini bukan slogan, ini tuntutan!

Di gedung LBH, suara rakyat naik,
Tanggal sembilan belas, api kritik membaik.
Dedi, Irvan, Suhendra buka pintu logika,
Asep, Ridwan, Dian—suara tajam seperti fakta.

Jack, Novandi, Juhal—rentangkan peta luka,
Demokrasi setengah hati bikin rakyat tak berdaya.
DPR cuma simbol? Di baliknya tali parpol,
Dari hulu sampai hilir, semua digenggam, kontrol total.

Kembalikan!
Kedaulatan rakyat—angkat!
Pangkas!
Kuasa parpol yang sesak!
Bukan lima tahun sekali suara kami dipakai,
Kami pengendali—bukan boneka yang dipajang di pangkai!

Kembalikan!
Kedaulatan rakyat—angkat!
Pangkas!
Kuasa parpol yang sesak!
Ini Cianjur bersuara, gaungnya deras mengalir,
Dengar Jakarta—atau kami datang menyindir!

Rekrutmen caleg penuh pintu gelap,
PAW diatur senyap, publik cuma jadi bayang remang,
Aspirasi rakyat tersangkut di ruang rapat,
Legislator pilih aman—asal kursi tetap kuat.

Dinasti, patronase, uang jadi bahasa,
Ini demokrasi apa? Atau pasar bebas kuasa?
UUD bilang kedaulatan ada pada rakyat,
Tapi praktiknya? Terkunci erat di saku para pejabat.

Policy brief turun—
“Koreksi demokrasi setengah hati.”
Recall dari konstituen, buka PAW secara digital,
Transparansi jadi senjata,
Rakyat jadi pusat, bukan formalitas ritual.

Kembalikan!
Kedaulatan rakyat—angkat!
Pangkas!
Kuasa parpol yang sesak!
Reformasi bukan mimpi—ini tuntutan yang kuat,
Kalau tak dibenahi—DPR cuma tinggal nama di plakat!

Petisi ditandatangani—bukan basa-basi,
Caleg berintegritas, bukan sekadar geng prestisi.
Keuangan partai dibuka, oligarki disikat,
Rakyat masuk legislasi—main di meja, bukan di pinggir sekat.

Tanpa ini semua, seruan “Indonesia tanpa DPR” cuma angin,
Rakyat tak mau bubar lembaga—hanya mau nyawa aslinya kembali mengalir.
Advokasi ke Senayan, tekanan publik digas,
Cianjur udah mulai, Jakarta tinggal jawab:
Dengar atau tergusur arus keras?

Demokrasi sehat lahir saat rakyat menggenggam kendali,
Bukan penonton, tapi penggerak yang berdiri berani.
Suara dari Cianjur—
Akan sampai ke ibu kota, kalau kalian siap dengar.
Kedaulatan milik kita. Titik.

04/12/2025

"EVALUASI WAHYU-RAMZI BUKAN AKHIR!"
(Lagu Rangkuman DISKUSI PUBLIK & JUMAT BERKAH "Evaluasi Pemerintahan Wahyu–Ramzi: APBD, Janji Politik, & Nasib Warga By : RBUC)

Yeah…
R-B-U-C, Y-L-B-H-C…
28 November, Cianjur bicara…
Turn it up.

Ini suara forum, bukan panggung pencitraan,
Janji politik naik, tapi rakyat terus kesakitan.
APBD dibahas, tapi siapa yang diuntungkan?
Bomero berdiri — walau kuasa mau menyingkirkan.
Kami evaluasi… semua di atas meja.
Kalau janji kosong, rakyat yang kecewa.
Kami evaluasi… tanpa takut siapa-siapa.
Cianjur bersuara — dengar atau kau tergelincir, ya.

Ichwan masuk, bicara jelas tanpa naskah:
“Pemerintah itu untuk rakyat, bukan buat golongan jenak.”
Potensi besar, wisata, UMKM, mineral,
Tapi IPM rendah — itu fakta yang fatal.

Pasar perlu modern, pedagang perlu platform,
Edukasi digital biar semua bisa transform.
Dialog dibuka, bukan ditutup rapat,
Kalau pemimpin tuli, kota cuma jalan di tempat.
Cianjur kaya, tapi rakyat masih susah,
Janji-janji naik, yang terasa cuma gusar.
Reformasi? Yuk lihat siapa yang benar,
Rakyat cuma mau kebijakan yang pintar.

Ini suara forum, bukan panggung pencitraan,
Janji politik naik, tapi rakyat terus kesakitan.
APBD dibahas, tapi siapa yang diuntungkan?
Bomero berdiri — walau kuasa mau menyingkirkan.
Kami evaluasi… semua di atas meja.
Kalau janji kosong, rakyat yang kecewa.
Kami evaluasi… tanpa takut siapa-siapa.
Cianjur bersuara — dengar atau kau tergelincir, ya.

Asep Toha bicara: “Kebijakan masih abu-abu,
Setengah populis, setengah teknokratis, program ngegantung terus.”
Policy Brief masuk RAPBD tapi eksekusi lambat,
Ekonomi kerakyatan? Bro, itu masih seret.

LBH naik, bawa suara yang dilupakan:
“Pedagang siap diatur, bukan dipaksa dipindahkan.”
Jebrod bukan solusi — cuma memindah masalah,
Yang hidup dari Citywalk harusnya didengar, bukan diusir paksa.

Unang ngomong hukum, tegas tanpa drama:
“Janji politik itu moral, bukan hiasan kampanye semata.”
Bisa jadi interpelasi, evaluasi, sampai gugatan,
Kalau APBD diselewengkan — siap-siap pemeriksaan.

Rakyat lihat, rakyat catat, rakyat simpan,
Apa yang dijanjikan, apa yang dijalankan.
Transparansi bukan slogan — itu kewajiban,
Kalau tak sanggup amanah, jangan duduk di jabatan.

Ini suara forum, bukan panggung pencitraan,
Janji politik naik, tapi rakyat terus kesakitan.
APBD dibahas, tapi siapa yang diuntungkan?
Bomero berdiri — walau kuasa mau menyingkirkan.
Kami evaluasi… semua di atas meja.
Kalau janji kosong, rakyat yang kecewa.
Kami evaluasi… tanpa takut siapa-siapa.
Cianjur bersuara — dengar atau kau tergelincir, ya.

Kritik Publik & Suara Pedagang
Jamaludin angkat nada, kritiknya tajam:
“Forum seberat ini, kok yang hadir bukan level atas?”
Erwin bilang RPJMD dan RAPBD nggak sinkron,
UHC cukup KTP? Faktanya malah ribet, bro.

Supriyanto nambah: “Riil isu tak terurus,”
Bupati keliling desa, tapi Bomero tetap buntu lurus.
Lalu pedagang berdiri, suara paling emosional:
“Kami lawan arogansi, kami cuma mau yang rasional.”

Dialog dulu sebelum turunkan pasukan,
APBD bukan alat pemaksaan.
UMKM itu nadi, jangan disayat pelan-pelan.
R-B-U-C… ruang rakyat… terus berjalan.
Cianjur bersuara — dengar kami sekarang.
Yeah… evaluasi ini bukan akhir, tapi peringatan.

01/12/2025

WAHYU - RAMZI DIKENDALIKAN CIKIDANG?

SOROTAN RBUC
"Janji Politik di Persimpangan, Bomero di Ujung Kesabaran"

Forum diskusi publik yang digelar Rumah Bersama Urang Cianjur (RBUC) pada 28 November lalu menyisakan satu kesan kuat: pemerintahan Wahyu–Ramzi belum menemukan nadinya. Tahun pertama kepemimpinan berjalan dengan langkah tersengal—di antara janji politik yang tak kunjung terpetik, APBD yang bergerak tanpa arah padu, dan pedagang kecil yang terus menjadi korban eksperimen kebijakan.
Pernyataan para peserta forum, dari akademisi hingga pedagang, nyaris senada: pemerintah lebih sibuk merawat citra daripada menata persoalan nyata.
APBD: Dari Janji Kerakyatan ke Administrasi Hambar
Data dan analisis kebijakan yang dipaparkan menunjukkan jarak lebar antara RPJMD yang bombastis dan RAPBD yang kompromistis. Ekonomi kerakyatan yang digembar-gemborkan saat kampanye mengecil menjadi serangkaian program administratif yang dingin dan tak menyentuh akar persoalan.
Bahkan policy brief yang disusun para analis teknokratis—dan diakui sebagian telah masuk RAPBD—masih sebatas formalitas tanpa jaminan eksekusi. Pemerintah tampak ragu menentukan haluan: menjadi populis atau teknokratis—dan akhirnya memilih jalan paling buruk: setengahnya.

Bomero: Bukti Arogansi yang Menjadi Pola
Kasus pedagang Bomero adalah cermin paling jernih dari ketidaksiapan Pemerintah Kabupaten dalam mengelola konflik sosial. Penggunaan ratusan aparat dalam operasi penertiban merupakan pilihan yang mahal, kasar, dan berjarak dari logika pelayanan publik.
Para pedagang mengaku bersedia diatur. Yang mereka tolak adalah dipindahkan paksa ke lokasi yang secara ekonomi tidak masuk akal. Tetapi alih-alih membuka ruang dialog, pemerintah mengirim seragam.
Arogansi kekuasaan bukan lagi dugaan—ia kini nyata dalam bentuk SP3, razia, sidang tipiring, dan pengabaian sistematis terhadap aspirasi rakyat kecil.

Janji Politik yang Menguap
Dalam forum itu, YLBHC mengingatkan bahwa janji politik adalah kontrak sosial. Tidak mengikat secara hukum, tetapi cukup kuat memicu interpelasi DPRD, pemeriksaan BPK, hingga gugatan publik. Ketika janji—seperti UHC cukup pakai KTP—tidak ditepati, yang tergerus bukan hanya kepercayaan, melainkan legitimasi.
Kini, disconnect electoral mulai terlihat di permukaan. Ketika warga berbisik bahwa pemimpin sesungguhnya bukan yang terpilih, tetapi “yang bermarkas di Cikidang”, itu bukan sekadar keluhan emosional. Itu tanda bahaya: publik mulai merasa dipimpin oleh kekuasaan bayangan.

Utusan Pemerintah: Datang, Duduk, Catat, Pulang
Kehadiran utusan Pemkab pada level menengah memperlihatkan rendahnya penghargaan terhadap forum publik. Ketika isu yang dibahas menyangkut APBD, konflik pedagang, dan evaluasi janji politik, pemerintah seharusnya mengerahkan pejabat pengambil keputusan, bukan sekadar penyampai pesan.
Publik tidak butuh notulen. Publik butuh keputusan.

Arah Baru atau Ulang Tahun Kekecewaan?
Diskusi RBUC memberi satu pesan keras: pemerintah harus berhenti mendengarkan dirinya sendiri. Kegaduhan Bomero, kecacatan APBD, dan kelesuan ekonomi bukan masalah yang akan hilang dengan kunjungan desa atau unggahan media sosial. Ini membutuhkan keberanian politik—dan kerendahan hati.
Sampai saat itu tiba, janji Wahyu–Ramzi akan tetap menggantung di udara, sementara pedagang Bomero terus berjuang di bawah bayang-bayang kebijakan yang tak berpihak pada mereka.
Cianjur menunggu pemimpin,
bukan sekadar pejabat yang dikendalikan cikidang!!!.


berat

22/11/2025

SOROTAN RBUC
"Tipiring Bomero 21/11: Antara Narasi Resmi dan Fakta Lapangan"

Satuan Polisi Pamong Praja dan Damkar Kabupaten Cianjur pada Jumat, 21 November 2025, menggelar sidang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) terhadap para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di kawasan Bomero. Dalam rilis resminya, Kepala Satpol PP, Djoko Purnomo, menyebut bahwa sidang ini merupakan tindak lanjut atas “ngeyel”-nya sejumlah pedagang yang tetap berjualan di area terlarang seperti trotoar dan badan jalan.

Namun kronologi lapangan menunjukkan kisah yang jauh berbeda. Antara narasi resmi dan pengalaman pedagang terdapat kesenjangan yang tidak bisa diabaikan.

Narasi Resmi Satpol PP

Menurut keterangan Satpol PP:

Penindakan dilakukan karena pedagang dianggap membandel meski sudah berkali-kali ditertibkan.

Sebanyak delapan PKL terjaring, satu melarikan diri.

Tujuh dibawa untuk proses lanjutan ke Pengadilan Negeri Cianjur.

Satu pedagang pulang mengambil kelengkapan, dan satu dinilai tidak memenuhi syarat administrasi karena tidak membawa KTP.

Patroli disebut sebagai komitmen menjaga “kenyamanan, keindahan, dan kebersihan” Bomero Citywalk.

Narasi ini seolah menunjukkan bahwa operasi berjalan tertib, terukur, dan sepenuhnya sesuai prosedur.

Fakta Lapangan: Penertiban Tanpa Dasar Hukum, Perampasan Barang, dan Intimidasi
1. Operasi Dimulai Pukul 06.30 Tanpa Surat Tugas

Truk Satpol PP masuk dari Jl. Cicih Wiarsih dan langsung menyita barang:
timbangan Aep, keranjang Wiwik, timbangan Aceng.
Di tanah milik Akam, payung dan meja lapak sosis milik Rusli turut dirampas.
Sembilan pasang sandal yang dijaga Ari Yusuf disita, dan Ari diangkut tanpa kesempatan menjelaskan bahwa dirinya hanya pekerja.

Di Jl. Moh. Nooh, keranjang dan timbangan milik Ceceng diambil; ia pun ikut dibawa ke truk.
Di Peniel, barang milik Yusuf disapu bersih.

2. Warga Diangkut Tanpa Penjelasan

Beberapa pedagang dan pekerja dibawa ke truk tanpa pemberitahuan alasan hukum dan tanpa proses administrasi yang transparan.

3. Pedagang Diminta Sidang Tanpa Pendampingan Hukum

Pukul 07.00, melalui pemuda setempat, pedagang diminta ke Pengadilan Negeri dan diminta bersedia menjalani Tipiring tanpa pendamping hukum. Ini bertentangan dengan asas fair trial.

4. LBHC Tiba — Satpol PP Tidak Dapat Menunjukkan Surat Perintah atau Dasar Perbup

Pukul 07.30, LBHC tiba di kantor Satpol PP. Ketika diminta menunjukkan dasar operasi, tak satu pun dokumen ditunjukkan.

Disepakati sidang digelar setelah Jumat.
Namun nyatanya sidang dimajukan sepihak sebelum Jumat.

5. Sidang Tanpa Kuasa Hukum, Ruang Dipenuhi Satpol PP

Aep dipanggil pertama. Pendamping hukum ditolak masuk oleh kejaksaan dengan alasan “Tipiring tidak butuh pendampingan”.

Ruangan sidang penuh anggota Satpol PP, menciptakan tekanan psikologis.
Aep tidak diberi ruang bicara, dan dijatuhi denda Rp100.000, padahal ia sudah merugi hampir Rp500.000.

6. LBHC Memaksa Masuk, Ancaman Tahanan 3 Hari

Pukul 13.30, LBHC (Pak Oden) berhasil masuk.
Ceceng hampir dipenjara 3 hari sebelum akhirnya dinegosiasi menjadi denda Rp50.000.

Pedagang lain—Wiwik, Ari, Rusli, Aep, Aceng, Yusuf—masing-masing dituntut Rp50.000.
Total denda: Rp350.000.
Beberapa bahkan tidak punya uang dan salah satunya hanya membawa Rp1.000.
Denda akhirnya dibayarkan kuasa hukum YLBHC, Deden Muharam Junaidi.

7. Barang Rampasan Baru Dikembalikan Besoknya

Meski disebut “penertiban”, barang dagangan diperlakukan layaknya sitaan proses pidana.

Dua Narasi, Satu Pertanyaan: Ada di Mana Keadilan?

Narasi Satpol PP menempatkan pedagang sebagai pihak membandel.
Narasi pedagang menunjukkan tindakan aparat yang tidak sesuai prosedur:

tanpa surat perintah,

tanpa dasar Perbup,

membawa orang tanpa alasan hukum jelas,

sidang dipercepat,

pendamping hukum diadang,

ruang sidang dijejali aparat.

Di tengah dua narasi yang bertentangan ini, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah Kabupaten Cianjur:

Apakah penegakan aturan memang harus mengorbankan hak warga kecil?

Karena sebesar apa pun keinginan menata kota, hukum tidak boleh berubah menjadi alat menakut-nakuti, apalagi merugikan ekonomi rakyat kecil.



21/11/2025

BUPATI KEMBALI BUNGKAM HADAPI DEMO RAKYAT

SOROTAN RBUC:
"Ketika Kekuasaan Menutup Pintu, Dua Gelombang Tuntutan Rakyat Bertemu dalam Kekecewaan yang Sama"

Aksi Gerakan Pemuda Ansor di depan Pemkab Cianjur, Kamis (20/11), bukan fenomena tunggal. Ia adalah bagian dari pola yang lebih besar—gelombang ketidakpercayaan publik yang terus membesar seiring membesarnya jarak antara rakyat dan pemimpinnya.
Janji politik yang tak direalisasikan, program anggaran yang menghilang dari APBD, dan sikap pemimpin yang menghindari dialog, menunjukkan bahwa pemerintah daerah semakin kehilangan kepekaan terhadap denyut kebutuhan warga.
Apa yang terjadi pada Ansor hari ini sejatinya adalah cerminan dari apa yang dialami para pedagang Bojongmeron sebelumnya. Ratusan pedagang, bersama jaringan masyarakat sipil—Sahabat Bomero, YLBHC, GMNI, dan PMII—datang ke Pendopo bukan untuk membuat gaduh, tetapi menuntut hak paling mendasar: didengar. Namun mereka pulang tanpa kepastian. Bupati Cianjur memilih bungkam. Ketika pintu Pendopo ditutup, yang tertutup bukan hanya akses fisik, tetapi juga ruang demokrasi yang seharusnya melayani warganya.
Kini, pola yang sama terulang kepada Ansor.
Janji Rp25 juta per RT per tahun, insentif guru ngaji dan imam masjid, serta dana Rp300 juta untuk pesantren—program-program yang pernah dijual sebagai keunggulan kampanye—tidak muncul dalam politik anggaran.
Dan saat rakyat mempertanyakan hal itu, mereka mendapati pemerintah daerah tidak hadir, tidak menerima, bahkan tidak bersuara.
Ketua LBH GP Ansor, Aa Fawaid Abdul Qudus, dengan tegas menyebut bahwa pemerintahan Wahyu–Ramzi lebih mengedepankan citra daripada kinerja, lebih memilih retorika daripada pemenuhan kewajiban. Prinsip keberpihakan yang seharusnya menjadi landasan APBD justru ditinggalkan. RT, RW, guru ngaji, imam masjid, dan pesantren diperlakukan sebatas komoditas politik—dipanggil ketika jelang Pilkada, ditinggalkan setelah suara mereka tidak lagi diperlukan.
Korlap aksi, KH Enjang Durhman, menegaskan bahwa Pemkab Cianjur telah menutup akses partisipasi publik. Tidak memasukkan program tersebut ke dalam APBD bukan hanya kekeliruan administratif, tetapi keputusan politik yang mengabaikan nilai-nilai egaliter dan hikmah kebijaksanaan sebagaimana amanat Sila Keempat Pancasila.
Dan yang paling memprihatinkan: dua kelompok warga yang berbeda, di dua momen berbeda, mengalami pola yang sama.
Pedagang Bojongmeron tidak ditemui.
Gerakan Pemuda Ansor tidak ditemui.
Keduanya pulang dengan kekecewaan yang sama.
Inilah tanda kemunduran partisipasi publik yang nyata.
Inilah wajah otoritarianisme yang tumbuh diam-diam: pemerintahan yang menutup pintu, menutup telinga, dan menutup ruang dialog.
Tetapi ada hal lain yang juga tumbuh di Cianjur: ingatan kolektif rakyat.
Semakin banyak warga yang menyadari bahwa janji politik bukan sekadar janji. Ia adalah kontrak moral dan politik yang wajib ditepati. Ketika pemerintah mengingkarinya, rakyat berhak menagih—dan akan terus menagih.
Cianjur sedang bergerak.
Dan gelombang itu tidak akan padam hanya karena pintu Pemkab ditutup rapat.
Jika pemimpin tetap memilih bungkam, maka rakyatlah yang akan berbicara lebih keras.

11/11/2025

SIARAN PERS
" Pemkab Cianjur Langgar Kesepakatan dengan DPRD, Pedagang Bojongmeron Jadi Korban Represi Saat Eksekusi SP3 "

Cianjur, 11 November 2025 —
Kesepakatan resmi yang dibuat DPRD Kabupaten Cianjur bersama perwakilan pedagang Pasar Bojongmeron pada Senin (10/11) sore ternyata diabaikan oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur. Hari ini, petugas Satpol PP tetap melakukan eksekusi SP3 secara represif terhadap pedagang, bahkan beberapa di antaranya mengalami tindak pemukulan.

Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tak hanya mengingkari komitmen politik bersama legislatif, tetapi juga diduga telah melakukan tindakan di luar koridor hukum serta melanggar asas-asas pemerintahan yang baik (AUPB).

Eksekusi Dilakukan Pasca Kesepakatan Penundaan

Dalam berita acara kesepakatan yang ditandatangani di Gedung DPRD Kabupaten Cianjur, legislatif menetapkan tiga poin penting:

Tidak boleh ada eksekusi/penggusuran sebelum adanya hasil musyawarah dan evaluasi menyeluruh yang dilakukan secara terbuka.

Bila Pemkab memaksakan eksekusi, DPRD wajib memanggil eksekutif dan meminta pertanggungjawaban.

DPRD menjamin perlindungan dan rasa aman bagi seluruh pedagang hingga tercapai kesepakatan final.

Namun kurang dari 24 jam setelah kesepakatan tersebut ditandatangani, Pemkab melalui Satpol PP dan Damkar tetap melakukan eksekusi SP3 di kawasan Bojongmeron.

“Ini jelas pelanggaran terhadap kesepakatan resmi bersama DPRD. Eksekusi dilakukan tergesa-gesa tanpa dialog lanjutan dan disertai kekerasan terhadap pedagang,”
ujar Deden M. Junaedi, SH., M.HR dari YLBH Cianjur.

Tindakan Represif: Pedagang Dipukul

Sejumlah pedagang dan mahasiswa mengaku mengalami tindak kekerasan fisik saat eksekusi berlangsung.
Selain melanggar etika pelayanan publik, tindakan ini patut diduga memenuhi unsur pidana, antara lain:

Pasal 351 KUHP (Penganiayaan)

Pasal 406 KUHP (Perusakan barang milik orang lain)

Pasal 170 KUHP (Kekerasan di muka umum)

Selain itu, tindakan ini berpotensi digugat sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, serta pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam UU 39/1999.

DPRD Harus Jalankan Fungsi Pengawasan

Peristiwa hari ini menjadi ujian bagi DPRD Kabupaten Cianjur.
Komitmen yang mereka tandatangani tidak boleh berhenti sebagai simbol, tetapi harus diwujudkan melalui:

✅ Pemanggilan pihak eksekutif
✅ Evaluasi terbuka
✅ Langkah perlindungan bagi pedagang
✅ Penghentian eksekusi sampai tercapai kesepakatan

“Kami menuntut DPRD menjalankan fungsi pengawasan penuh dan memastikan Pemkab menghormati kesepakatan. Jika tidak, DPRD kehilangan marwahnya sebagai wakil rakyat,”
tegas Agustrama Tunggaraga dari GMNI Cianjur.

Legalitas Relokasi Masih Bermasalah

Selain pelanggaran prosedural, kebijakan relokasi pedagang Bomero juga masih menyisakan berbagai persoalan mendasar:

❌ Tidak ada musyawarah terbuka
❌ Tidak ada dasar legal izin pemungutan retribusi sebelumnya
❌ Tidak ada mekanisme kompensasi yang jelas
❌ Pendataan pedagang tidak transparan
❌ Relokasi dilakukan secara sepihak

Padahal, banyak pedagang sudah berjualan di lokasi tersebut selama lebih dari 20 tahun dan rutin dipungut retribusi oleh pemerintah.

“Bagaimana mungkin tiba-tiba pedagang dinyatakan ilegal, sementara selama puluhan tahun justru mereka dipungut retribusi oleh pemerintah?”
ujar Yusuf, perwakilan Sahabat Bomero.

Ini membuktikan bahwa relokasi bukan semata-mata persoalan zonasi, tetapi menyangkut tanggung jawab negara atas tindakan dan kelalaiannya selama ini.

Desakan

Koalisi pedagang, organisasi mahasiswa, dan lembaga bantuan hukum mendesak:

Hentikan segera eksekusi dan tindakan represif di Bojongmeron

Evaluasi terbuka dengan kehadiran DPRD, Pemkab, dan perwakilan pedagang

Usut dugaan kekerasan aparat dan berikan perlindungan bagi korban

Pastikan seluruh proses kebijakan memenuhi prinsip keterbukaan, keadilan, dan keberpihakan pada warga kecil

Penutup

Relokasi bukan berarti menata dengan kekerasan.
Membangun Cianjur bukan berarti mengorbankan rakyat kecil.
Keputusan politik yang tidak menghormati kesepakatan bersama hanya akan menghasilkan ketidakpercayaan dan konflik sosial yang berkepanjangan.

Kami menyerukan proses yang lebih bermartabat: terbuka, manusiawi, adil bagi seluruh warga.

Kontak Media:
📞 089560477976
📧 [email protected]

Organisasi/Koalisi:

Sahabat Bomero

GMNI Cianjur

PMII

HMI

YLBH Cianjur

RBUC







Address

Cianjur
43215

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when RUMAH Bersama URANG Cianjur posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to RUMAH Bersama URANG Cianjur:

Share

live diskusi

Live Diskusi Dengan Nara Sumber Yang Kompeten