20/05/2024
Ki Ngabehi Ageng Soerodiwirdjo memiliki nama kecil Muhamad Masdan. Eyang Suro lahir pada tahun 1876 di Surabaya dan merupakan putra sulung dari Ki Ngabehi Soeromihardjo, mantri cacar di Ngimbang, Kabupaten Jombang
Eyang Suro yang merupakan peletak dasar ajaran Setia Hati meninggal dunia dalam usia enam puluh delapan tahun. Ajaran Eyang Suro saat ini berkembang menjadi berbagai perguruan silat, seperti Persaudaraan Setia Hati Winongo, Persaudaraan Setia Hati Terate, dan perguruan silat lainnya.
Ki Ngabehi Ageng Soerodiwirdjo memiliki nama kecil Muhamad Masdan. Eyang Suro lahir pada tahun 1876 di Surabaya dan merupakan putra sulung dari Ki Ngabehi Soeromihardjo, mantri cacar di Ngimbang, Kabupaten Jombang.
Ayah Eyang Suro merupakan saudara sepupu dari RAA Soeronegoro atau Bupati Kediri pada waktu itu. Ki Ageng Soerodiwirdjo mempunyai garis keturunan Bataro Katong yang merupakan Bupati Pertama Ponorogo.
Pada tahun 1890 atau saat berusia 14 tahun, Eyang Suro diambil putra oleh pamannya yang merupakan wedono di Wonokromo. Pada tahun 1891, ia ikut seorang kontrolir Belanda dan dipekerjaan sebagai juru tulis.
Pada usia yang relatif muda, Eyang Suro kemudian menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Di pondok Tebu Ireng, Eyang Suro mulai berkenalan dan belajar tentang pencak silat.
pada 1892, Eyang Suro pindah ke Bandung. Di sana, Eyang Suro juga berlatih dan lebih mendalami ilmu pencak silat. Eyang Suro merupakan sosok yang cerdas dan berbakat serta memiliki kemauan keras. Ada banyak aliran pencak silat yang telah ia ikuti, seperti aliran Cimande, Cikalong, Cibaduyut, Ciampea, dan Sumedangan.
Pada 1893, ia pindah ke Jakarta. Di Kota Betawi ini, Eyang Suro menambah pengetahuan belajar pencak silat dari Betawian, Kwitangan, Monyetan, dan Toya.
Kemudian pada 1894, Ki Ageng Soerodiwirdjo berpindah ke Bungkulu karena pada saat itu orang yang diikutinya pindah ke Bengkulu. Namun, ia hanya enam bulan berada di Bengkulu. Setelah itu, ia berpindah ke Padang. Di sana, Eyang Suro mempelajari tentang pencak silat aliran Padang Pariaman, Padang Sidempoan, Padang Panjang, Padang Pesur, Padang Sikante, Padang Alai, dan Padang Pertakaian.
Sedangkan di Bukitinggi, ia belajar tentang permainan Orang Lawah, Lintang, Solok, Singkarak, Sipei, Paya Punggung, Katak Gadang, Air Bangis, Tariakan.
Dari daerah tersebut, salah satu guru yang mengajari Eyang Suro dalam berlatih pencak silat adalah Datuk Rajo Batuah. Pengembarannya terhadap ilmu pencak silat tidak sampai di situ saja, pada 1898, Eyang Suro kembali merantau ke Banda Aceh. Di daerah ini, Eyang Suro berguru kepada beberapa guru pencak silat, di antaranya Tengku Achmad Mulia Ibrahim, Gusti Kenongo Mangga Tengah, dan Cik Bedoyo.
Dari para guru-guru itu, Eyang Suro belajar mengenai permainan Aceh Pantai, Kucingan, Bengai Lancam, Simpangan, dan Turutung.
Setelah pengembaraannya bertahun-tahun, Eyang Suro kembali ke Surabaya dan bekerja sebagai anggota polisi dengan pangkat Mayor Polisi.
Pada 1903 di daerah Tambak Gringsing, Eyang Suro pertama kali mendirikan perkumpulan yang diberi nama Sedulur Tunggal Kecer dan permainan pencak silatnya diberi nama Joyo Gendelo.
Dalam perkembangannya, pada 1917, nama perguruan silat itu berubah menjadi Persaudaraan Setia Hati yang berpusat di Madiun. Eyang Suro mendirikan perguruan silat itu dengan tujuan agar para warga atau anggotanya mempunyai rasa persaudaraan dan kepribadian yang kuat karena pada saat itu Indonesia sedang dijajah Belanda.