Sebuah Pengantar Memahami Civic-Islam Indonesia
Kata civic mungkin belum akrab didengar di telinga masyarakat luas. Kalau kita buka kamus Oxford advanced American Dictionary - for learners of English (2011), Civic itu masuk adjective, alias kata sifat dengan pengertian kewargaan di kota kecil atau kota besar. Misalnya, civic buildings/leaders (terkait dengan masyarakat yang tinggal di kota kecil a
tau kota besar); -civic duties/responsibilities (tanggungjawab atau kewajiban yang berkaitan dengan civic). Ada p**a istilah Civics (noun), sebuah bidang studi yang mempelajari tatakelola pemerintah bekerja dan menangani hak-hak serta kewajiban yang dimiliki warga negara dan anggota masyarakat tertentu. Sebelum muncul istilah civic-Islam ada istilah pop**ar sebelumnya, yakni civic-virtue yang pengertian asasinya adalah kewargaan masyarakat dengan perilaku atau sikap yang menunjukkan standar moral tinggi, atau kualitas atau kebiasaan baik tertentu. Jadi secara mudahnya kalau istilah civil (society) topiknya membahas masalah "masyarakat sipil" pembahasannya pada kelompok atau golongan di sebuah masyarakat, maka civic, pembahasannya terletak pada individu -- yang dalam istilah Indonesianya kita kenal sebagai warga-- namun bukan sebatas warga dalam pengertian individual melainkan warga yang terintegrasi pada komunitas, kelompok, atau golongan dari "masyarakat sipil." Dalam pengertian ini civic-Islam berarti sebuah konsepsi keilmuan yang berbicara tentang kewargaan terkait dengan nilai-nilai ideal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Civic-Islam berdiri di atas nilai tersebut. Ini selaras dengan tujuan esensial Islam yang selalu mengarah pada upaya perwujudan akhlak-karimah (etika luhur) dalam konteks subjek/manusia dan perwujudkan nilai luhur dalam kemasyarakatan bernama peradaban. Civic seringkali diasumsikan dengan kehidupan kota karena memang dari sisi linguistik, basis literalnya bermakna demikian. Namun, dalam konteks keilmuan yang lebih luas, menurut AE Priyono sebagaimana dijelaskan dalam wawancara di situs Katakini.com, “sebenarnya pengertian ‘civic’ dalam keilmuan ini sudah tak ada urusannya lagi dengan geografi atau demografi. Islamic-citizenship juga tidak mesti harus dipahami sebagai subjek politik yang berbasis pada identitas keagamaan.
“Civic-Islam itu fokusnya untuk memperjuangkan status kewargaan-sosial (social citizenship), kewargaan-politik (political citizenship), dan kewargaan-ekonomi (economic citizenship) setiap subjek warganegara, di sebuah entitas negara demokratik,” terangnya. Konteks Indonesia
Civic-Islam berangkat dari sebuah pilihan politik berbasis republikanisme ketimbang liberalisme. Sebab liberalisme yang menekankan aspek (1) kebebasan sipil, (2) kebebasan politik, (3) otonomi individu, untuk kebutuhan Indonesia saat ini masih dirasa tidak memadai. Gagasan Republikanisme yang mempromosikan tentang (active)-citizenship, rule of law, dan civic-virtue, jauh lebih relevan. Pelaku Civic-Islam adalah muslim yang memiliki kapasitas deliberatif-partisipatoris, mampu mempolitisasi ruang-publik agar menjadi civic public-space, yang inklusif, pluralis, dan toleran, sekaligus yang mampu menanamkan nilai-nilai kebajikan (ethical-virtue). Itulah agenda yang harus dikembangkan terutama untuk menyemai datangnya generasi baru. Civic-Islam di Indonesia itu sangat dibutuhkan untuk agenda menyelamatkan demokrasi. Jangan sampai demokrasi gagal sehingga warga, terutama umat Islam yang mayoritas itu terperosok pada kefrustasian sehingga berpikir pragmatis mengganti dasar negara, berpikir anti demokrasi karena demokrasi dianggap gagal. Itu tidak akan menyelesaikan masalah karena untuk mengganti negara itu tidak realistis, butuh proses panjang dan perdebatan pelik, bahkan butuh pengorbanan besar-besaran. Dan seandainya hanya menganti dasar negara, mengganti sistem politik belum tentu juga bisa menyelesaikan masalah secara cepat. Civic-Islam berpikir ilmiah realistis. Kita mengakui kegagalan demokrasi di Indonesia secara kritis, yakni dengan jujur mengatakan demokrasi liberal itulah yang gagal. Demokrasi liberal hanya mendudukkan warga sebagai voters, persis dengan pemikiran kapitalis yang selalu ingin mendudukkan warga sebagai konsumen. Demokrasi liberal itu mengalami cacat karena tidak mampu menjadikan warga sebagai subjek yang aktif dalam politik. Politik liberal kita adalah politik yang sebatas membuat proyek pemilu. Setelah rakyat di suruh memilih, lantas dimarjinalkan dalam urusan publik. Karena itu Civic-Islam bermaksud menjawab problem ini dengan cara memilih jalur demokrasi lain, yakni demokrasi republikan, selaras dengan prinsip "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" dengan menekankan perjuangan kewargaan melalui partisipasi, emansipasi, dan deliberasi (musyawarah). Dengan semangat inklusivitas itu, arah gerak Civic-Islam adalah perjuangan transformatif ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi – dua isu yang sepenuhnya gagal dicapai baik oleh neoliberalisme maupun fundamentalisme. [] Faiz Manshur.